Selasa, 02 November 2010

MENGGAPAI HAJI MABRUR

Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki banyak julukan. Di antara julukan yang melekat atau dilekatkan kepadanya adalah Islam sebagai agama ibadah dan agama muamalah sekaligus. Dinamakan agama ibadah, karena Islam mengatur hubungan vertikal antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai al-Khaliq, yang lazim dikenal dengan sebutan hablun min Allah. Sedangkan dijuluki agama muamalah, mengingat Islam mengatur tata hubungan horizontal antara sesama manusia sebagai makhluk sosial yang lebih terkenal dengan sebutan hablun min al-nas. Bahkan, Islam juga mengatur hubungan kesetiaan manusia terhadap lingkungan alam sekitar yang umum dikenal dengan istilah hablun min al-`alamin.
Berbagai jenis peribadatan yang diajarkan Islam, sungguh tampak unik, menarik dan sekaligus juga artistik; sementara berbagai model aktifitas muamalah yang ditawarkan, juga demikian menantang dan menjanjikan. Salah satu bentuk peribadatan (ritual) yang unik dan sekaligus menarik, bahkan juga dapat dikatakan artistik, adalah ibadah haji. Betapa tidak ! Setiap musim haji tiba, di bulan-bulan yang telah ditentukan (Syawwal, Dzul Qa`dah dan Dzul Hijjah = asyhurun ma`lumat) yang puncaknya adalah tanggal 10 Dzul Hijjah, jutaan duta-duta bangsa dari berbagai negara dengan beragam suku, bangsa, bahasa dan negara, menyemut pada satu titik di padang Arafah. Sedangkan bentuk muamalah (transasksi ekonomi) yang tidak kurang menantang dan menjanjikan banyak orang, adalah usaha ekonomi dalam bentuk perdagangan.


Lebih menarik lagi tatkala kita menemukan kesenyawaan antara ibadah haji yang dituntunkan Islam supaya meraih “haji mabrur” (haji yang bersih); sebagaimana juga Islam mengarahkan dunia bisnis supaya menuju “ba`in mabrurin” (bisnis yang bersih). Antara haji mabrur dan bai`in mabrurin, kalau dicermati dengan seksama terdapat kesenyawaan antara yang satu dengan yang lain. Untuk mencapai haji mabrur, diperlukan pembiayaan cukup tinggi (high cost) di samping persiapan fisik dan mental yang prima; sementara guna mencapai bai`in mabrurin, juga memerlukan kerja keras, kesabaran dan ketabahan. Baik haji mabrur maupun bai`in mabrurin, keduanya sama-sama menuntut kesiapan fisik, mental dan modal yang prima. Terutama dihadapkan pada tantangan dan godaannya masing-masing.

 
Ibadah dan Muamalah
Secara umum dan garis besar, para ahli hukum Islam (fuqaha) terbiasa memilahkan ajaran Islam bidang syariah (hukum Islam) ke dalam dua bagian utama, yakni ibadah dan muamalah. Ibadah, yang secara harfiah berarti penyembahan, pemujaan dan perbudakan, adalah nama atau sebutan bagi semua dan setiap hal yang pelaku dan melakukannnya mendapatkan ridhai Allah swt. Sedangkan muamalah, yang berasal-usul dari kata `amila-ya`malu-`amalan, artinya: berbuat, bertindak, mengerjakan, melakukan dan menjalankan (sesuatu), maksudnya adalah tindakan dan hubungan kepentingan (kewajiban dan hak) antar para pihak yang melakukan akad.

Kecuali ibadah mahdhah (murni) tertentu, yang dapat dikatakan murni ritual semisal shalat dan puasa, ibadah dalam konteksnya yang lebih luas, pada dasarnya dan dalam kenyataannya banyak yang berdimensikan sosio-ekonomi dan sosio kultural. Sebut saja misalnya zakat yang dikategorikan ke dalam bentuk ibadah maliah ijtimaiah (ibadah yang berdimensikan ekonomi dan sosial-kemasyarakatan), serta ibadah haji yang digolongkan ke dalam bentuk ibadah fisik yang berdimensikan sosio-kultural dan sosio ekonomi (ibadah badaniah-ijtimaiyah wa-maliyah). Dengan kalimat lain, ibadah dalam Islam pada dasarnya dan dalam kenyataannya, nyaris tidak ada yang tidak bersosio (berhubungan dengan masyarakat); sebagaimana juga tidak ada bentuk muamalah yang sama sekali terlepas dari nilai-nilai ibadah. Terutama ketika dikaitkan dengan hukum halal-haram di satu pihak, serta janji baik (wa`ad) dan ancaman buruk (wa`id) di pihak lain. Belum lagi ketika dikaitkan dengan pembalasan syurga dan neraka.


Korelasi Ibadah dan Muamala
h

Karakter agama Islam tidak pernah memisahkan apalagi mempertentangkan antara dua hal yang berpasangan. Termasuk antara ibadah dan muamalah. Maksudnya, seperti disinggung sebelum ini, ibadah dalam Islam, tidak ada yang sama sekali lepas dari nilai-nilai sosio muamalah; sebagaimana juga muamalah Islam, tidak ada yang sama sekali lepas dari nilai-nilai ibadah. Terutama sebagaimana terlihat dalam korelasi antara ibadah haji yang berdimensikan sosio ekonomi dan sosio kultural sekaligus; sebagaimana juga dunia muamalah khususnya bisnis yang juga tidak boleh lepas dari nilai-nilai ibadah.
 
Jika diperhatikan dengan seksama, pelaksanaan ibadah haji terkait erat dengan aktifitas ekonomi dan keuangan. Terutama terkait dengan kelengkapan para jamaah haji seperti sarana transportasi (darat, laut dan udara), penginapan, rumah-rumah sakit, konsumisi, dan lain-lain yang jumlahnya tidak kecil.

Sebagai iluistrasi, pada musim haji 1431 H/2010 M, ini Indonesia memberangkatkan 221,000 orang calon jamaah haji. Terdiri atas: 197,500 jamaah reguler, dan 23.500 lainnya adalah jamaah haji khusus (Pelita, 09-10). Guna melayani jamaah haji yang terbilang banyak, itu Pemerintah RI mengirim petugas haji sebanyak 3.800 orang. Jika jamaah haji yang berjumlah 221,000 orang (di luar petugas yang 3800 orang), itu perorangnya mengeluarkan uang rata-rata Rp. 65-75 juta saja untuk semua keperluan terkait (sebelum, saat-saat dan sesudah) haji; maka sudah bisa dibayangkan berapa peredaran uang di pasar selama musim haji? Untuk jamaah haji Indonesia saja tentu berkisar antara Rp. 14, 365,0000,000,000 – 16,575,000,000,000 (14 belas triliun tiga ratus enam puluh lima miliar sampai enam belas triliun lima ratus tujuh puluh lima milyar rupiah), sebagai hasil dari 221,000 jamaah haji x a Rp. 65 – 75 juta. Bagaimana kalau dikalikam dengan semua jamaah haji yang tumplek di Makkah al-Mukarramah yang jumlahnya lebih dari 2 juta-an jamaah ? Sudah tentu akan lebih besar lagi dan bahkan tidak tergolong mudah untuk menghitungnya.


Dari Haji Mabrur, Menuju Bai`in Mabrurin

Hal lain yang layak disimak, ibadah haji itu seperti diingatkan Al-qur’an (Al-Baqarah (2): 196) supaya dilaksanakan dengan sesempurna mungkin wa-atimmu al-hajja wa-al-`umrata lillah. Orang yang melaksanakan haji dengan itmam inilah sesungguhnya yang kelak meraih haji mabrur. Relevan dengan haji mabrur sebagai yang sangat sakral dan suci, itu tidak boleh dinodai dengan hal-hal yang batil dari sisinya yang manapun. Termasuk sisi perongkosannya yang seharusnya bersumberkan usaha ekonomi yang ihalalan thayyiban mubarakan.

Dalam salah satu sabdanya, rasul Allah Muhammad saw bersabda: “Haji mabrur, itu tidak ada balasannya selain syurga” (al-hajj al-mabrur laisa lahu jaza’un illa al-jannah” (hadis ruwayat riwayt muttafaq `alaih, dari Abi Hurairah radhiyallahu `anhu). Dalam sabdanya yang lain, ketika ditanyakan salah seorang sahabat tentang usaha ekonomi yang baik, rasul Allah Muhammad saw menjawab: “usaha langsung seseorang dengan tangannya sendiri, dan setiap jual-beli yang mabrur” = ayyu al-kasbi afdhalu ya rasul Allah ? `amal al-rajuli bi=yadihi wa-kullu ba`in mabrurin (hadis riwayat al-Bazzar yang disahihkan oleh al-Hakim, dari Rifa`ah bin Rafi` radhiyallahu `anhu). Permasalahannya kini, “apa itu haji mabrur ?” dan “apa pula itu bisnis mabrur ?”


Kata mabrur ( مبرور ), yang terambil dari akar kata barra-yabirru/ yabarr/ yaburru-barran wa-barratan, artinya taat, patuh, berbakti, bersikap baik, bersikap sopan pada/ kepada....; seperti dalam ungkapan birr al-walidain = berbakti kepada kedua orang tua (ibu dan bapak). Al-birru, artinya kesalehan (al-shalah) dan kebaikan (al-khair), di samping juga bermakna ketaatan (al-tha`ah) dan kebenaran (al-shidqu). Bahkan, kata al-birru juga terkadang digunakan untuk arti belas kasih (al-luthfu wa-al-syafaqah), hati (al-fu’ad) dan syurga (al-jannah). Al-mabrur, artinya yang diterima atau yang dibersihkan. Haji mabrur (al-hajj al-mabrur), yang pembalasannya oleh nabi dicanangkan dengan syurga, adalah haji yang pahalanya diterima oleh Allah swt. Sedangkan bai`in mabrurin, maksudnya adalah aktifitas bisnis (perdagangan) yang bersih dari unsur kebatilan, kezaliman dan riba.

Bank Syariah, Benarkah sudah Syariah ?

Berlainan dengan dengan haji mabrur yang telah merakyat sejak berabad-abad lamanya, istilah “bay’in mabrurin” nyaris tidak pernah dikenal oleh masyarakat luas. Termasuk di kalangan kaum terpelajarnya. Kecuali kaum terpelajar dan masyarakat yang sedikit banyak pernah belajar dan atau mempelajari hukum bisnis syariah (fiqh al-mu`amalat). Pasalnya ? Berlainan dengan ibadah termasuk ibadah haji yang pelaksanaannya sepanjang zaman nyaris tidak pernah mengalami hambatan apapun, berbisnis secara syar`i nyaris tidak pernah diberi kesempatan berpraktek untuk berabad-abad lamanya. Kalaupun bisnis ala syariah itu sejak 10 tahun terakhir (1990-an – 2000-an) telah diberikan peluang yang dapat dikatakan sama untuk berkiprah di dunia pasar modern, namun sosialisasinya ke tengah-tengah masyarakat luas masih tetap menuntut kerja keras dan bahkan ekstra serius.
 
Selain usianya yang masih relatif singkat, juga tantangannya yang serba kompleks. Belum lagi dihubungkan dengan tradisi dan sistuasi bisnis yang sangat cepat dan ketat di satu pihak; serta dihadapkan dengan sumber daya insani bisnis syariah yang masih jauh dari memadai. Apalagi ketika dihubungkan dengan cita ideal ekonomi dan keuangan syariah yang bermuara pada “bai`in mabrurin” (berbinis yang mabrur), sebagaimana cita syariah dengan ibadah sosialnya yang bersimbolkan “haji mabrur.” Pendek kata, selain dihadapkan pada tantangan eksternal yang cukup rumit; secara internal ekonomi dan keuangan syariah juga memang masih memiliki banyak kelemahan yang harus segara dibenahi. Termasuk sosialisasinya yang masih sangat terbatas atau malahan dibatasi.

Hemat penulis, masih terlalu sulit umumnya masyarakat untuk mampu menerima apalagi memahami berbagai bentuk atau model bisnis yang “ditawarkan” syariah, dengan cita idealnya menuju “bai`in mabrurin,” sebagaimana juga tidaklah mudah bagi jamaah haji untuk menggapai cita ideal “haji mabrur.” Mirip dengan pelaksanaan ibadah haji yang dihadapkan dengan banyak tantangan, praktek ekonomi dan keuangan syariah, yang baru berumur satu dasawarsa (10 tahunan), juga benar-benar dihadapkan atau bahkan digoda dengan sederet permasalahan yang mengundang pertanyaan dan pernyataan yang pada akhirnya bermuara pada kebelum-yakinan masyarakat luas terhadap ekonomi dan keuangan syariah.


Berlainan dengan upaya menggapai haji mabrur yang selain waktunya telah lama, juga perjalanannya dapat dikatakan tidak mengalami hambatan yang berarti karena sifatnya yang taabbudi, untuk menuju realisasi bai`in mabrurin tampaknya lebih berat lagi. Bukan saja karena tantangan masa depannya yang cukp ketat dan kompleks, melainkan juga disebabkan perjalanan sejarah masa lalunya yang tidak semulus praktek ibadah. Tapi, juga mirip dengan ibadah haji mabrur yang pelakunya dipastikan meaih kenikmatan yang tiada tara, terutama dari sisi keberkahan; maka peraih bai`in mabrurin, juga dipastikan menikmati kehidupan yang tanpa cela.

Meskipun hakikat haji mabrur sesungguhnya kembali kepada individu-individu (hujjaj) peraihnya; namun para ulama banyak yang menyebutkan beberapa atau malahan sejumlah indikatornya. Yang terpenting, guna mengukur mabrur tidaknya haji seseorang, dapat dilihat dari perilaku kehidupan antara sebelum dan sesudah melakukan ibadah haji. Intinya, manakala peribadatan, amala saleh, amal sosial dan tanggung-jawab keagamaannya lebih meningkat dibandingkan sebelum yang bersangkutan berhaji; maka itu insya allah pertanda meraih haji mabrur. Sebaliknya, manakala kehidupannya semakin menurun, atau bahkan semakin menjauh dari amalan-amalan yang disebutkan di atas, maka itu sebagai pertanda hajinya tidak mabrur, akan tetapi Cuma mabur (terbang) laksana jalan-jalan biasa.


Analog dengan haji mabrur, bai`in mabrurin (bisnis mabrur), ciri-cirinya dapat dilihat dan dirasakan dengan tiga dampak riil ekonomi syariah di tengah-tengah kehidupan masayarakat dan terutama para pelaku ekonominya. Dampak riil ekonomi dan keuangan syariah yang dimaksudkan adalah ekonomi dan keuangannya benar-benar berdimensikan keadilan keadilan, pemerataan dan berkeberkahan. Untuk dimensi keadilan dan pemerataan, instrumennya dapat dikatakan jauh lebih mudah daripada mengukur keberkahan yang dapat dikatakan cuma dapat dirasakan. Oleh itu, sejumlah pertanyaan dan pernyataan banyak orang tentang sistem ekonomi dan keuangan ala syariah, bagaimanapun memang harus dijawab dan dibukikan secara nyata oleh para pegiat dan terutama penikmatnya.


Induk pertanyaan/permasalahan dasar dan besar ekonomi dan keuangan syariah, biasanya berpusat pada pertanyaan dan atau pernyataan dasar berikut: “Benarkah bank dan atau asuransi syariah itu sudah benar-benar syariah ?” “Apa dan dimana letak perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah ?” “Apa dan di mana letak perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah ?” “Bukankah sama saja dalam prakteknya, antara bank konvensional dan bank syariah ?” Demikian pula antara asuransi konvesnional dan asuransi syariah. Bahkan, dalam banyak kasus, bank syariah sering kali tidak kurang besar mengambil keuntungannya dibandingkan dengan bunga yang ditarik bank konvensional. Bagaimana juga dengan klaim asuransi syariah yang tidak kalah juga memiliki lika-liku yang ujung-ujungnya memakan wkatu lama ? Diprakirakan masih banyak lagi pertanyaan dan atau pernyataan serupa yang dialamatkan kepada para pegiat ekonomi dan keuangan syariah.


Jawabannya, tentu tidak mungkin bisa diselesaikan dengan hanya memberikan uraian secara lisan; bahkan juga belum/tidak cukup dengan tulisan setebal apapun. Jawaban untuk berbagai pertanyaan di atas, sejatinya dibuktikan dengan praktek ekonomi dan keuangan Islam/Syariah yang dampak riilnya bercirikan: keadilan, pemerataan dan keberkahan. Tiga ciri utama dari dampak riil ekonomi Islam/Syariah, ini sejatinya segera bisa direalisasikan mengingat ekonomi dan keuangan syariah dapat dikatakan sudah memiliki perlindungan dan jaminan hukum yang sama dengan perlindungan dan jaminan hukum yang dipunyai ekonomi dan keuangan konvensional. Bahwa di sana-sini masih dirasakan ada kekurang-imbangan atau ketidak-samaan sikap dan perlakuan terhadap ekonomi dan keuangan syariah, dibandingkan dengan hal yang sama terhadap ekonomi dan keuangan konvensional, itu merupakan soal lain yang pada gilirannya tetap terbuka lebar untuk bisa diatasi dengan bila sukses ekonomi dan keuangan syariah benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas.


Polemik bunga uang -- khususnya bunga bank -- terkait dengan status hukum keharamannya lantaran apakah itu riba atau bukan, tentu dengan argumentasinya masing-masing, agaknya akan terus bergulir. Paling sedikit tatkala diilhami dengan perdebatan klasik tentang penyamaan riba dan jual-beli (dagang) oleh sebagian masyarakat rentenir dahulu kala (zaman nabi Muhammad saw) seperti dilansir Al-qur’an yang menyatakan:


“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, itu tidak akan dapat berdiri [tegak], melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila [harta]. Keadaan mereka yang demikian itu, disebabkan mereka berkata (berpendapat) bahwa sesungguhnya jual beli itu sama saja dengan riba; padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang pengharaman riba); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Adapun orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah [calon-calon] penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (al-Baqarah (2): 275).

Dengan tidak ada maksud untuk memastikan posisi diri para pegiat ekonomi dan keuangan syariah sebagai calon-calon penghuni syurga, meskipun harus tetap bertekad menuju ke arah itu; dan tidak pula bertendensi negatif untuk menuding posisi masyarakat ekonomi dan keuangan konvensional sebagai calon-calon penghuni neraka; yang jelas dual system ekonomi dan keuangan Islam/Syariah dan sistem ekonomi/keuangan konvensional, telah dibuka lebar untuk dipilih oleh masing-masing pemilik dan penggunanya. Oleh itu, masing-masing pihak sesungguhnya tidak ada alasan untuk terus menerus mempermasalahkan eksistensi dua sistem ekonomi dan keuangan dimaksud (sistem ekonomi/keuangan syariah dan sistem ekonomi/keuangan konvensional). Sungguh tidak ada alasan untuk menghujat keberadaan ekonomi dan keuangan sayariah, sebagaimana juga tidak ada alasan pembenar untuk tidak bersahabat apalagi “memusuhi” sistem ekonomi dan keuangan konvensional. Masing-masing bisa bekerja dan berkompetisi secara sehat; dalam kadar dan kasus tertentu bahkan terbuka lebar peluang untuk bekerjasama dan bersinergi. Lebih-lebih inter sesama ekonomi dan keuangan syariah sendiri.


Sudahkah kita berhaji mabrur ?

Terhadap pertanyaan “Apakah bank syariah sudah benar-benar syariah ?” Penulis kira sama saja dengan 1001 pertanyaan sejenis yang bisa dikembangkan. Misalnya: “Apakah haji kita sudah benar-benar syariah ?” “Sudahkah shalat kita benar-benar sesuai dengan syariah ?” “Apakah perkawinan kita sudah benar-benar sesuai dengan syariah ?” “Apakah keluarga kita sudah benar-benar syariah ?” “Apakah pendidikan kita sudah benar-benar syariah ?” “Apakah ibadah kita sudah benar-benar syariah ?” “Apakah baca qur’an kita sudah benar-benar syariah ?” Apakah dzikir kita sudah benar-benar sesuai dengan syariah ?” “Apakah besuk orang sakit (i`adah al-maridh) yang kita lakukan sudah benar-benar syariah ?” “Apakah tajhiz al-janazah (pengurusan jenazah) yang kita jalankan sudah benar-benar sesuai dengan syariah ?”

Bila pertanyaan senada atau bahkan sama hendak pula dikembangkan terkait dengan sistem ekonomi/keuangan lainnya termasuk sistem ekonomi dan keuangan konvensional, maka bisa juga diajukan persamaan yang sama. Umpamanya: “Apakah sistem ekonomi dan keuangan konvensional itu sudah sesuai dengan keadilan yang diharapkan apalagi yang dirasakan ?” “Apakah sistem ekonomi dan keuangan konvensional itu sudah sesuai dengan keadilan sosial yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia ?” “Apakah sistem ekonomi dan keuangan konvensional itu benar-benar ada keberpihakannya kepada fakir-miskin dan orang-orang terlantar ?” “Apakah ekonomi dan keuangan konvensional itu benar-benar sudah peduli tidak usah dikatakan telah berpihak kepada rakyat secara keseluruhan ?” “Apakah ekonomi kerakyatan yang sering diusung itu sudah benar-benar membumi ?” Jawaban santrinya: “Wallahu a`alam bi-al-shawab ! Hanya Allah yang Maha Tahu ! Sebab, pakar-pakar ekonomi konvensional-pun mustahil bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan singkat tapi mendasar di atas.


Logikanya, kalau para pecinta dan pembina ekonomi dan keuangan konvensional juga tidak mampu menjawab 1001 permasalahan sosial ekonomi dan keuangan yang melilit sebagian besar rakyat kita, mengapa pula pertanyaan dan pernyataan yang sama harus diarahkan kepada sistem ekonomi dan keuangan syariah ? Sebagaimana masyarakat ekonomi dan keuangan konvensional, yang boleh jadi juga merasa “tertganggu” dengan fatwa haram bunga uang karena didentikkan benar dengan riba yang memang diharamkan, maka masyarakat pemerhati apalagi pegiat ekonomi dan keuangan syariah, juga sering kali dihujani pertanyaan dan pernyataan yang telah dikemukakan di atas.






Khusus untuk para pegiat dan para peduli ekonomi dan keuangan syariah, menyikapi pertanyaan “Apakah lembaga keuangan syariah sudah benar-benar syariah ?” Jawabannya lebih-kurang sama dengan ketika pertanyaan serupa disodorkan kepada hal-hal lain yang dianggap syar`i sifatnya. Misalnya, kita ajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: “Sudah mabrurkah haji kita ?” Pertanyaan-pertanyaan ini mohon dijawab dulu sebelum mereka meminta dijawab pertanyaan “Sudah mabrurkah ba`in (bisnis) kita ?” Sama dengan ketika ditanyakan “Sudah syariahkah perbankan syariah kita ?” Boleh dijawab dengan balik bertanya: “Sudah syariah ibadah kita ?” Jangankan bsinis kita yang harus diakui masih belum murni syariah, orang haji kita juga yang bersifat ta`abbudi boleh jadi belum murni syariah. Bila haji saja masih ada kemungkinan belum tentu mabrur, maka mudah dimengerti jika bisnis kita juga masih belum bai``in mabrurin.


Menyadari hal ini, maka pertanyaan-pertanyaan serupa bisa saja dilanjutkan dengan rangkaian pertanyaan sebagai berikut: “Kalau ibadah kita, shalat kita, zakat kita, puasa kita, dan bahkan haji kita belum benar-benar syariah,” lalu hendak kita apakan ? Apakah kita tidak usah memiliki ghirrah (gairah) untuk beribadah sesuai dengan syariah, dari pada ibadah tetapi belum benar-benar syariah ? Apakah kita tidak usah shalat sekalian, daripada shalatnya belum/tidak syariah ? Apakah kita tidak usah zakat sekalian, daripada zakatnya belum/tidak syariah ? Apakah kita tidak usah puasa sekalian, daripada puasa kita belum/tidak syariah ? Apakah kita tidak usah haji sekalian, daripada haji kita belum/tidak syariah ? Dan akhirnya, apakah kita tidak usah berbisnis secara syariah sekalian, daripada melebelkan bisnis syariah tetapi bisnisnya belum/tidak syariah benaran ?

 
Sayangnya, bisakah kita menggunakan kalimat-kalimat berikut ? Misalnya kita gunakan saja ibadah konvensional, shalat konvensional, zakat konvensional, puasa konvensional, dan haji konvensional ? Pinjam istilah Hadis, karena kita belum lagi mampu meraih “ba’in mabrurin” (bisnis yang bersih) yang dicita-idealkan syariah, maka tepatkah kita gunakan saja bisnis model konvensional ? Sama artinya, kalau kita belum mampu meraih “haji mabrur,” tidak usah naik haji saja sekalian, cukup dengan piknik atau pelesiran yang tanpa tujuan; selain untuk bersenang-senang belaka. Tentu saja tidak demikian. Sepanjang sejarah, Islam tidak pernah mentoleransi pemeluknya untuk menghilangkan ghirrah keislaman dan kesyariahan atas dalih apapun dalam melaksanakan tugas hidup dan kehidupannya.

Menuju Bai`in Mabrur

Bagaimanapun, sama sekali tidaklah salah kalau umat Islam tetap terus dan terus tetap bertekad: “Menggapai cita haji mabrur, menuju realita ba’in mabrur.” Usia ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia khususnya dan di dunia pada umumnya, dapat dikatakan baru berjalan dan dijalankan sekitar 10 – 50 tahun lamanya. Padahal, ekonomi dan keuangan yang mencitakan bai`in mabrur, ini telah mati atau bahkan dimatikan lebih-kurang selama tiga setengah abad. Bayangkan, tiga setengah abad bukanlah usia pendek apalagi sesaat, lebih-lebih ketika dibandingkan dengan usia 50 – 10 tahun geliat kembali ekonomi dan keuangan Islam/Syariah dewasa ini. Karenanya, hemat penulis, kejayaan ekonomi dan keuangan syariah yang berpuncak kepada “bai`in mabrurin,” masih mendaki jalan panjang yang penuh curam dan lika-liku; tetapi insya allah telah tertatap sedemikian rupa di masa depannya. Oleh itu, insya allah bukanlah mimpi di siang bolong manakala ummatan muslimatan bertekad “Dari menggapai haji mabrur, menuju bai`in mabrur.”

Dari rangkaian tulisan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Islam tidak pernah memisahkan antara spirit peribadatan di satu pihak, dan spirit usaha ekonomi (muamalah) di pihak lain. Walaupun antara ibadah dan muamalah terdapat perbedaan, namun antara keduanya dipastikan terdapat hubungan timbal balik dan bahkan kesenyawaan dalam rangka menuju ibadah dan muamalah yang bersih. Sebutan haji mabrur yang pembalasannya adalah syurga; dan demikian pula dengan julukan bai`in mabrur yang jaminannya adalah juga syurga, merupakan bukti nyata kefitrian agama Islam dan insan-insan musliminnya. Demikianlah tulisan ini disajikan, semoga bermanfaat adanya. Amin, semoga !

Wa-al-hamdu lillahi rabb al`alamin

Catatan:

Penulis adalah Guru Besar dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (FSH-UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, di samping sebagai Ketua Umum Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI).

0 komentar:

Posting Komentar