Senin, 17 Januari 2011

MENGUKUR KUALITAS IMAN


Di antara misi yang diemban Nabi besar Muhammad saw dalam menyampaikan dakwahnya adalah menyebarkan rahmat dan kasih sayang bagi sesama umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Rasulullah Muhammad saw adalah seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt dengan membawa rahmat, bukan saja bagi umat Islam tetapi
juga bagi umat-umat sedunia. Nikmat dan karunia Allah yang paling besar yang diberikan kepada kita adalah nikmat iman dan Islam, karena nikmat ini akan menghantarkan kita pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Beriman kepada Allah adalah hubungan seorang hamba dengan Dzat Pencipta, Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Manusia merupakan makhluk yang paling mulia dibanding makhluk-makhluk lainnya. Kemuliaan ini dikarenakan adanya kalbu dalam diri seorang manusia yang dengannya dapat menangkap cahaya iman kepada Allah swt. Mendapat petunjuk dari Allah untuk beriman kepada-Nya secara totalitas merupakan karunia yang teramat agung dan sangat bernilai. Kenikmatan ini tidak bisa dilukiskan secara matematis dan susah untuk diutarakan dengan pernyataan lisan maupun tulisan. Dalam al-Qur’an, Allah swt berfirman, “Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah-lah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkanmu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat, 49:17)
Keimanan itu bukanlah semata-mata pernyataan yang diucapkan seseorang, atau hanya semacam keyakinan dalam hati, akan tetapi ia merupakan suatu keyakinan yang memenuhi seluruh hati nurani, yang kemudian dibuktikan dalam amal dan perbuatan. Dengan demikian, dampak iman itu akan segera terrealisir dan berkesan dalam tingkah perilaku hidup seseorang yang mengaku dirinya sebagai orang yang beriman. Ia akan terlihat tampak bagaikan munculnya panas yang disorotkan oleh matahari atau bagaikan semerbaknya bau harum yang berasal dari taman bunga yang indah.
Di antara tanda keimanan seseorang yang telah mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah, yaitu apabila ia telah mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada segala sesuatu, termasuk terhadap dirinya sendiri. Allah swt berfirman, “Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. al-Taubah, 9:24)
Memang kadar iman itu tidak mungkin mencapai kesempurnaan, tetapi kita dapat mengusahakannya dengan menumbuhkan rasa cinta yang mendalam sampai ke lubuk hati. Cinta itu semata-mata ditujukan kepada Allah dan rasul-Nya, juga kepada syariat-Nya yang menjadi petunjuk yang kekal dan abadi. Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, Nabi saw bersabda yang intinya bahwa seorang manusia akan memperoleh manisnya iman apabila ia memiliki tiga hal, yaitu pertama, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada segala sesuatu. Kedua, ia mencintai orang lain atau mencintai segala sesuatu karena Allah semata. Dan ketiga, ia membenci kekufuran sebagaimana bencinya ketika ia hendak dicampakkan ke dalam api neraka. Dalam hadits lainnya yang juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, disebutkan bahwa belum sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai Nabi saw melebihi cintanya kepada orang tua, dirinya sendiri, dan manusia seluruhnya.
Umar bin al-Khaththab, seorang sahabat Nabi yang bergelar al-Faruq (pemisah antara hak dan batil) adalah sahabat yang tegar membela prinsip dan berterus terang berkata kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah sesungguhnya engkau adalah orang yang paling saya cintai melebihi cinta saya kepada segala sesuatu selain diri saya sendiri.” Beliau menjawab pernyataan Umar itu, “Tidak wahai Umar sehingga kamu mencintaiku melebihi cintamu pada dirimu sendiri.” Umar kemudian berkata, “Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhnya engkaulah orang yang lebih saya cintai dari diri saya sendiri.” Baru beliau mengukuhkan pengakuan Umar tersebut, “Nah, sekarang imanmu sempurna.”
Selain dari cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, keimanan seseorang harus dibuktikan dengan pengorbanan dan perjuangan. Pengorbanan, jihad, dan perjuangan di jalan Allah akan selalu mengantarkan suatu bangsa kepada kejayaan dan kemenangan. Sebalinya bangsa yang enggan berjuang dan berkorban akan terjerembab dalam lembah kehinaan dan kenistaan.
Abu Bakar al-Shiddiq dalam pidato pelantikannya, ketika ia diangkat sebagai khalifah menggantikan Rasulullah saw yang wafat, berpesan tentang urgensinya jihad dan berjuang untuk mencapai kemajuan dan kejayaan umat. Di akhir pidatonya, ia berkata, “Janganlah salah seorang di antara kalian meninggalkan perjuangan dan jihad, karena sesungguhnya tidak ada suatu umat atau suatu bangsa yang meninggalkan perjuangan kecuali Allah menimpakan kepadanya kelemahan dan kehinaan.” Ahmad Syauqi Bek, seorang pujangga kenamaan dari Mesir, berkata, “Hidup itu bukan berhembusnya nafas yang keluar masuk dari paru-paru seseorang, akan tetapi hidup itu adalah akidah dan jihad.”
Pengorbanan dan perjuangan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia yang telah mencapai kesempurnaan iman. Keduanya merupakan salah satu tanda orang-orang yang benar-benar mengakui dirinya sebagai orang yang beriman. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat, 49:15)
Manusia yang memiliki kualitas iman yang tinggi senantiasa mengedepankan perjuangan dan kepentingan umat dengan penuh keikhlasan. Mereka selalu mengutamakan keluhuran ajaran agama dari kepentingan dirinya sendiri, keluarga dan kelompoknya. Seorang mukmin senantiasa memiliki keyakinan yang kuat bahwa nanti di akhirat ia akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas-tugas keagamaan dan kemanusiaannya sehari-hari, ia selalu mengorientasikannya pada kepentingan akhirat untuk memperoleh kebahagiaan yang kekal dan abadi. 
***

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Aku setuju banget :D

Posting Komentar