Senin, 17 Januari 2011

MEMBUMIKAN SUNNAH NABI S.A.W.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري ومسلم والترمذي والنسائي وابن ماجه وأحمد)
Artinya :  Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Nabi s.a.w. bersabda, “Janganlah kalian  bertanya kepadaku sesuatu yang aku tidak membahasnya. Karena sesungguhnya celakanya orang-orang sebelum kamu disebabkan banyaknya pertanyaan dan penyelewengan terhadap nabi-nabi mereka. Oleh karena itu, jika aku telah melarang sesuatu, maka jauhilah! Dan jika aku telah memerintahkan sesuatu, maka laksanakanlah semampumu!” (HR. al-Bukhari: 6744, Muslim: 2380, At-Tirmidzi: 2603, al-Nasa`i: 2572, Ibnu Majah: 2, dan Ahmad: 7063)
1.    Latar Belakang Hadis
            Pada suatu hari, Nabi Muhammad s.a.w. berkhutbah di hadapan para sahabatnya tentang kewajiban dan perintah menjalankan ibadah haji bagi setiap orang Islam yang mampu. Beliau bersabda, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan haji pada kalian semua, maka kerjakanlah.” Tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan dari seorang sahabat, “Apakah ibadah haji tersebut diwajibkan setiap tahun, wahai Rasulullah?” ujarnya. Semula Nabi s.a.w. diam saja dan tidak memperhatikan pertanyaan itu. Tetapi karena pertanyaan itu dilontarkan berkali-kali dengan suara yang cukup keras, akhirnya beliau menjawab. “Andaikan aku mengiyakan (pertanyaanmu), maka akan berlaku kewajiban setiap tahun, dan kalian tidak akan sanggup melaksanakannya.” Selanjutnya Nabi menyambung sabdanya seperti hadis tersebut di atas, yaitu: “Janganlah kalian bertanya kepadaku sesuatu yang aku tidak membahasnya. Karena sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelummu disebabkan banyaknya pertanyaan dan penyelewengan terhadap nabi-nabi mereka. Oleh karena itu, jika aku telah melarang sesuatu, maka jauhilah! Dan jika aku telah memerintahkan sesuatu, maka laksanakanlah semampumu!” 
            Pertanyaan itu pernah juga dilontarkan oleh umat terdahulu yaitu Bani Israil terhadap Nabi mereka (Musa a.s). Ketika itu, mereka diperintahkan untuk mencari seekor sapi betina yang akan disembelih, untuk membongkar suatu misteri dari kematian seseorang yang terbunuh. Tetapi perintah itu rupanya tidak menggerakkan mereka untuk segera melaksanakannya. Mereka malah mencari jalan untuk menghindarinya.
Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".  Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."
Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." Mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.” (QS. al-Baqarah, 2:68-71)
Demikianlah tingkah laku kaum Bani Israil, banyak bertanya bukan untuk mencari kejelasan, melainkan untuk menghindari kewajiban. Sebagai konsekwensi dari pertanyaan dengan motivasi tersebut, mereka menghadapi kesulitan untuk mencari sapi betina yang telah ditentukan identitasnya. Andai saja mereka melaksanakan perintah dengan tanpa reserve, tanpa menanyakan kriteria sapi betina secara detail, niscaya mereka tidak akan menghadapi kesulitan sedikitpun.
Di dalam al-Qur’an, banyak kisah-kisah umat terdahulu yang dihancurkan oleh Allah karena banyaknya penyelewengan, penjegalan, dan permintaan-permintaan mereka yang tidak mungkin dapat diturutinya.

2.    Menanyakan Masalah yang Tidak Perlu
            Ditinjau dari segi sifat dan tujuannya, pertanyaan itu dapat diklasifikasikan menjadi dua macam; (1) Pertanyaan yang sangat diperlukan oleh penanya untuk mencari kejelasan  masalah-masalah agama atau ilmu-ilmu lainnya yang belum jelas. Pertanyaan seperti ini diperkenankan dan bahkan dianjurkan. Dalam hal ini, Allah berfirman:   
Artinya  :  “.....Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. “ (QS. al-Nahl, 16:43)

Termasuk pada kategori ini, adalah pertanyaan Sahabat Umar r.a. bersama para sahabat lainnya kepada Rasulullah s.a.w. mengenai kejelasan status minuman khamar di saat al-Qur’an belum mengaturnya.               
            Jenis pertanyaan berikutnya (2) adalah pertanyaan yang tidak urgen dan bertujuan untuk mempersulit sesuatu, berupa masalah-masalah yang pelik dan hampir tidak dapat diwujudkan. Pertanyaan itu dikemukakan dengan tujuan untuk menyulitkan orang yang ditanyai atau untuk menguji kemampuannya. Pertanyaan seperti ini menurut hadis Abu Hurairah di atas, hukumnya adalah haram. Kesimpulan ini diambil dari sabda beliau, “..sesungguhnya kehancuran generasi-generasi sebelummu disebabkan memperbanyak pertanyaan..” Akan tetapi mayoritas ulama hanya menghukumi makruh saja. Mereka berhujjah dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Mughirah bin Syu’bah, bahwa Nabi s.a.w. bersabda:    
      
إِنَّ اللهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Artinya  :  “Sesungguhnya Allah membencimu karena tiga perkara; kasak-kusuk, menyia-nyiakan harta, dan mengobral pertanyaan.” (HR. al-Bukhari: 1383 dan Muslim: 3238)
            Imam al-Nawawi menguatkan pendapat yang memakruhkan tersebut dengan dua alasan. (1) Adanya kemungkinan bahwa pertanyaan itu menyebabkan susuatu yang mubah menjadi sesuatu yang haram, sehingga akan memberatkan diri sendiri dan orang lain. (2) adanya kemungkinan bahwa jawaban yang diterima itu menjerumuskan diri sendiri ke jurang kenistaan. Allah s.w.t. memperingatkan hal ini dengan firman-Nya: 

Artinya  :  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema`afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya.” (QS. al-Maa`idah, 5:101-102)

Dalam Islam, mengajukan pertanyaan yang menjadikan suatu yang mubah menjadi haram, adalah dosa besar yang mengakibatkan siksa. sebuah hadis yang diriwayatkan dari Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, dari ayahnya (Ibnu Abi Waqqash), Nabi s.a.w. bersabda:     
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ  (رواه البخاري ومسلم)
Artinya  :  “Dosa terbesar bagi kaum muslimin adalah (dosanya) orang yang menanyakan suatu hal yang tidak diharamkan, tetapi kemudian hal itu diharamkan sebagai jawaban dari pertanyaannya.” (HR. al-Bukhari: 6745 dan Muslim: 4349)

Hadis ini juga memberi pelajaran pada kita bahwa melakukan perbuatan yang mubah tetapi kemudian dapat mengganggu atau mengakibatkan kerusakan kepada orang lain, maka perbuatan itu dihukumi dosa.

3.        Arti Sebuah Ketaatan
            Setelah Rasulullah melarang umatnya untuk mempertanyakan masalah-masalah yang tidak perlu, karena akan membuat mereka berat dan binasa, selanjutnya beliau menegaskan bahwa semua yang dibawanya itu adalah syariat yang benar. Apa yang diperintahkannya harus dilaksanakan, sebaliknya apa yang dilarangnya harus dijauhi dan ditinggalkan.Yang dimaksud dengan menjauhi larangan adalah mengharuskan dirinya untuk menjauhi secara total perbuatan yang dilarang oleh agama Islam.
Tuntutan untuk meninggalkan larangan itu bersifat abadi, baik larangan itu berupa keharaman yang harus ditinggalkan atau berupa kemakruhan yang sunat ditinggalkan. Suatu larangan akan berubah statusnya menjadi mubah jika dalam keadaan darurat. Misalnya di hutan belantara yang tidak ada makanan sama sekali kecuali daging bangkai, maka demi menyambung kehidupan, memakan daging bangkai tersebut diperbolehkan.
Suatu tuntutan untuk meninggalkan larangan mempunyai daya kekuatan yang lebih keras daripada suatu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan. Hal yang demikian ini adalah logis. Sebab melaksanakan suatu kewajiban tidak sama dengan meninggalkan suatu larangan. Ia memerlukan syarat-syarat tertentu untuk memenuhinya. Untuk melaksanakan shalat misalnya, seorang muslim harus dewasa, sehat fikiran, dan mengetahui bahwa perintah (khithab) shalat telah sampai kepadanya. Begitu pula dalam perintah haji, hanya orang muslim yang mampu dan memiliki ONH yang harus menunaikannya. Dan perintah-perintah syara’ lainnya yang kesemuanya menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum melaksanakannya.
Tidak setiap orang muslim dapat memenuhi syarat-syarat taklif yang telah ditentukan oleh syariat. Ukuran kemampuan dan kekuatan seseorang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.  Oleh karena itu, Nabi s.a.w. -dalam hadis di atas- menyuruh umatnya untuk melaksakan apa yang diperintahkan, beliau sesuaikan dengan batas kesanggupan seseorang untuk melaksanakannya. Hal ini sejalan dengan firman Allah s.w.t.:

Artinya  :  “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. al-Baqarah, 2:286)

            Allah Maha Bijaksana dalam memberikan tuntutan kepada hamba-hamba-Nya. Shalat yang tadinya diwajibkan bagi umat terdahulu, sehari semalam sebanyak limapuluh kali, maka atas dasar kasih sayang-Nya, dikurangi menjadi lima waktu sehari semalam. Bagi orang yang tidak kuat melaksanakan shalat dalam keadaan berdiri, maka ia diperbolehkan melaksanakannya sambil duduk. Jika dengan duduk tidak juga mampu, maka shalat sambil berbaring, dan sebagainya. Begitu pula bagi orang lanjut usia atau orang sakit yang tidak kuat berpuasa pada bulan Ramadhan, maka syara’ membolehkan mereka untuk berbuka dan menggantinya dengan membayar fidyah. Oleh karena itu, kemurahan (dispensasi) Tuhan kepada hamba-hamba-Nya bukan berarti melaksanakan dan meninggalkan aturan Tuhan sesuka hatinya. Tetapi hendaknya diartikan dengan suatu pengurangan atau keringanan terhadap suatu tuntutan yang sangat berat pelaksanaannya. Aturan dan tuntutan itu an sich harus dilakukan, hanya saja bentuk dan cara pelaksanaannya disesuaikan dengan daya kesanggupan masing-masing. Pendek kata, ketidakmampuan seseorang hanya bisa mengurangi beban kewajiban, tidak menggugurkannya.
            Kendati demikian, kewajiban tersebut dapat gugur ketika dihadapkan pada keadaan tertentu, misalnya ketika terjadi suatu bahaya yang hebat dan mengancam keselamatan jiwanya, bila perbuatan itu dilaksanakan. Misalnya, apabila ia berangkat haji, yang di ketahui perjalanannya akan ada huru-hara yang menimpanya, maka kewajiban haji menjadi gugur untuk sementara waktu.
            Kandungan hadis Abu Hurairah yang disebutkan di atas: “...jika aku telah melarang sesuatu, maka jauhilah! Dan jika aku telah memerntahkan sesuatu, maka laksanakanlah semampumu!”  memiliki kandungan makna yang sangat mendalam. Meskipun redaksinya ringkas, tetapi cakupannya begitu jauh mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang tak terhingga banyaknya. Allah berfirman:  

Artinya  :  “Maka bertakwalah kamu kepadaAllah menurut kesanggupanmu...” (QS. al-Taghabun, 64:16)

Ayat ini sekaligus mengkhususkan (mukhasis) keumuman firman Allah dalam Surat al-Hasyr: 7 yang berbunyi:
Artinya  :  “...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” (QS. al-Hasyr, 59:7), juga mengkhususkan keumuman makna hadis Ibnu Amr yang berbunyi:
انْظُرُوا الَّذِي أُمِرْتُمْ بِهِ فَاعْمَلُوا بِهِ وَالَّذِي نُهِيتُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (رواه أحمد)
Artinya  :  “Perhatikanlah, apa yang diperintahkan kepadamu maka kerjakan, dan apa yang dilarang kepadamu, maka tinggalkan.” (HR. Ahmad: 6550)

4.        Penutup
          Menurut Imam al-Qasthalani, meskipun bertanya tidak termasuk perbuatan dosa, apalagi jika dikatakan sebagai salah satu dosa besar, namun sekiranya pertanyaan itu menjadikan sebab haramnya sesuatu yang mubah, maka mengemukakannya merupakan tindakan yang berdosa. Hal ini disebabkan karena jawaban dari pertanyaan itu memiliki konsekwensi yang berat dan akan mempersulit umat Islam secara keseluruhan.
            Suatu hari, Rasulullah s.a.w. menyetop para sahabat yang mengutarakan berbagai pertanyaan yang bersifat sepele dan tidak penting. Padahal ketika itu beliau sedang menghadapi masalah yang sangat penting. Anas bin Malik ra merekam hadis tersebut, selengkapnya sebagai berikut:
سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَحْفَوْهُ الْمَسْأَلَةَ فَغَضِبَ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ، فَقَالَ: لاَ تَسْأَلُونِي الْيَوْمَ عَنْ شَيْءٍ إِلاَّ بَيَّنْتُهُ لَكُمْ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ يَمِينًا وَشِمَالاً فَإِذَا كُلُّ رَجُلٍ لاَفٌّ رَأْسَهُ فِي ثَوْبِهِ يَبْكِي، فَإِذَا رَجُلٌ كَانَ إِذَا لاَحَى الرِّجَالَ يُدْعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّه! مَنْ أَبِي؟ قَالَ: حُذَافَةُ، ثُمَّ أَنْشَأَ عُمَرُ فَقَالَ: رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولاً، نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا رَأَيْتُ فِي الْخَيْرِ وَالشَّرِّ كَالْيَوْمِ قَطُّ إِنَّهُ صُوِّرَتْ لِي الْجَنَّةُ وَالنَّارُ حَتَّى رَأَيْتُهُمَا وَرَاءَ الْحَائِطِ وَكَانَ قَتَادَةُ يَذْكُرُ عِنْدَ هَذَا الْحَدِيثِ هَذِهِ اْلآيَةِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ (متفق عليه)
Artinya  :  “Para sahabat banyak yang bertanya kepada Rasulullah s.a.w. sampai beliau merasa kewalahan dengan pertanyaan itu. Beliau marah lalu naik mimbar, dan bersabda: “Hari ini,  kalian jangan bertanya kepadaku tentang sesuatu kecuali yang sudah aku jelaskan.” Saya (Anas bin Malik) melihat kanan kiri, ternyata setiap orang menutup mukanya sambil menangis. Tiba-tiba datang seorang laki-laki—yang apabila bertengkar ia dinasabkan bukan kepada ayah kandungnya—bertanya kepada Rasulullah, “Siapa ayahku?”. “Ayahmu Hudzafah”, sahut Rasulullah. Lalu Umar r.a. mengeluarkan baiat, “Kami rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul. Kami minta dilindungi dari fitnah.” Rasulullah s.a.w. kembali bersabda, “Aku sama sekali tidak melihat kebaikan dan kejelekan seperti hari ini, bahwasanya aku diberikan ilustrasi Surga dan Neraka, sampai aku dapat melihat keduanya dari belakang tembok.” Ketika hadis ini disebutkan, Qatadah membaca sebuah ayat al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu.” (QS. al-Maa`idah, 5:101).” (HR. al-Bukhari: 5885 dan Muslim: 4354)

0 komentar:

Posting Komentar