Senin, 17 Januari 2011

NAPAK TILAS HIJRAH RASULULLAH SAW

Menelusuri suatu kejadian atau peristiwa untuk diambil pelajarannya merupakan suatu yang sangat bermanfaat bagi setiap manusia yang memikirkannya. Nilai-nilai yang baik dari peristiwa tersebut dapat dijadikan sebagai suri tauladan dalam menapaki kehidupan, sedangkan nilai-nilai yang buruk darinya harus dihindari sehingga nantinya tidak terulang kembali. Dengan demikian, setiap orang akan berhati-hati dalam meniti jalan hidupnya. Begitu pula peran dan karakteristik tokoh-tokoh yang ada dalam peristiwa tersebut, tentunya perlu diperhatikan.
Dalam peristiwa hijrah Rasul banyak sekali nilai-nilai yang harus diambil dan dijadikan pelajaran. Napak tilas perjalanan hijrah beliau menuju Kota Madinah adalah perjuangan yang sangat berat dan menegangkan. Kaum kafir Quraisy mengejar dan melacak jejak beliau untuk ditangkap hidup-hidup atau mati. Di bawah ini, kita akan melihat sekaligus merasakan detik-detik menegangkan tersebut. Semuanya dijalani beliau dan para sahabatnya demi perjuangan agama Islam. Dalam peristiwa hijrah ini pula, kita akan melihat bahwa peranan Abu Bakar dan keluarganya sangat menonjol dalam membela sekaligus melindungi keselamatan Nabi saw.

Peranan Keluarga Abu Bakar
Peranan keluarga Abu Bakar al-Shiddiq sangat besar dalam peristiwa Hijrah Nabi saw. Nabi memberitahukan Abu Bakar bahwa harus pergi hijrah malam itu dan beliaulah yang ditetapkan sebagai sahabat untuk menyertainya. Dengan ketetapan itu, Abu Bakar merasakan kebahagiaan yang luar biasa, bahagia bercampur haru, sehingga air matanya menetes, deras sekali. Tidak ada yang mengetahui persembunyian Nabi di Gua Tsur, kecuali keluarga Abu Bakar yaitu Abdullah puteranya, kedua puterinya Asma’ dan Aisyah serta pembantu setianya Amir bin Fuhaira.
            Tugas Abdullah sehari-hari berada di tengah-tengah orang Quraisy, untuk menyadap informasi mengenai sikap mereka terhadap Muhammad. Amir bertugas menggembalakan ternak milik Abu Bakar, untuk menghapus jejak apabila Abdullah mengirimkan makanan ke Gua Tsur, menyiapkan susu dan daging. ‘Asma dan Aisyah memasak menyediakan makanan di rumah kemudian diantarkan oleh Abdullah untuk Nabi dan ayah mereka. Setiap Abdullah berangkat ke Gua Tsur atau kembali di belakangnya selalu diikuti oleh Amir dengan ternak kambingnya yang banyak, menghapuskan jejak Abdullah, agar tidak diketahui oleh orang-orang Quraisy.
Sebelum Nabi memasuki Gua Tsur, Abu Bakar masuk terlebih dahulu untuk memeriksa keadaan gua itu, apakah aman untuk bersembunyi atau tidak. Dalam gua itu, biasanya ditempati oleh binatang-binatang buas dan serangga berbisa. Setelah Abu Bakar memeriksanya dan dianggap aman, baru memberitahu Nabi agar beliau masuk ke dalamnya. Dalam gua itu, karena sangat lelah, Nabi tertidur, meletakkan kepalanya di paha Abu Bakar. Kaki Nabi terlihar melepuh bengkak, karena beliau berjalan tanpa alas kaki. Sewaktu memangku Nabi yang sedang tidur itu, tiba-tiba Abu Bakar melihat di dekat jempol kakinya ada lubang yang luput dari pengamatannya. Dari lubang itu akan keluar kalajengking besar yang siap menyengat. Abu Bakar segera menutup lubang itu dengan ibu jari kakinya. Segera setelah itu dirasakan olehnya sengatan kalajengking yang sangat menyakitkan, sehingga sengatan itu seolah-olah dirasakan sampai ke ulu hati. Menahan sakit yang luar biasa itu, mengakibatkan badan Abu Bakar menggigil dan seluruh tubuhnya gemetar, sehingga Nabi terjaga dari tidurnya. Baru Nabi mengetahuii apa yang terjadi. Dengan cepat beliau berusaha mengeluarkan bisa dari ibu jari Abu Bakar serta kemudian mengobatinya dan berdoa, sehingga Abu Bakar sembuh. (M. Muhyiddin, Sayyiduna Muhammad Nabi al-Rahman, hal. 60)
            Orang-orang musyrik Quraisy merasa kecewa dan menyesal luar biasa, setelah Nabi lolos dari kepungan mereka. Mereka tidak lagi berpikir terhadap Ali yang sedang tidur menggantikan Nabi. Pikiran mereka hanya tertumpu pada “Muhammad telah lolos dan harus dikejar sampai ketemu”. Dengan demikian, Ali pun selamat dan keesokan harinya ia melaksanakan apa yang dipesankan oleh Nabi saw. Orang-orang musyrik Quraisy terus mencari Nabi, dengan menggunakan ahli-ahli jejak padang pasir. Sampai kemudian mereka mendekati Gua Tsur, tempat persembunyian Nabi dan Abu Bakar. Mulanya mereka sudah mengira Nabi bersembunyi di gua itu, tetapi setelah mereka melihat di mulut gua itu terdapat sarang laba-laba, di sampingnya ada dua ekor burung dara sedang mengerami telurnya dan ada dahan-dahan pohon yang menutup lubang gua itu, mereka yakin gua itu tidak mungkin ada penghuninya. Mereka terlampau percaya pada perhitungan rasionya, sehingga berkeyakinan demikian.
            Sebenarnya pada saat orang-orang Quraisy itu naik ke Bukit Tsur dan mengamati gua itu, saat itu merupakan detik-detik yang menegangkan. Abu Bakar sendiri melihat kaki-kaki mereka, sehingga beliau berbisik kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah, sekiranya mereka melihat ke bawah telapak kakinya, pasti akan melihat kita.” Nabi menjawab, “Wahai Abu Bakar, apakah kamu mengira bahwa kita ini hanya berdua, ketahuilah, yang ketiganya adalah Allah swt yang melindungi keselamatan kita.”   Itulah kenangan di Gua Tsur, yang mencekam dan menegangkan. Hari-hari berikutnya, dirasakan agak lega, tidak begitu mengkhawatirkan. Peristiwa ini diabadikan dalam al-Qur’an, sebagai berikut:
“Apabila kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya. Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Taubah, 9: 40)
            Setelah tiga hari berada di Gua Tsur, Nabi saw dan Abu Bakar pergi berhijrah ke Madinah dengan mengendarai dua ekor unta yang telah disiapkan Abu Bakar. Segala persiapan dan bekal untuk perjalanan telah disiapkan oleh Asma’ dan Aisyah, kakak beradik puteri Abu Bakar yang sangat setia membela perjuangan Nabi saw.
            Selain menyediakan dua ekor unta, Abu Bakar menyiapkan uang sebanyak lima sampai enam ribu dirham. Itulah sisa kekayaan yang dimilikinya. (Said Ramadhan, Fiqh al-Sirah, hal. 183). Perjalanan Nabi dan Abu Bakar melewati jalan yang sulit yang tidak bisa dilalui orang, untuk menghindari pengawasan kaum musyrikin Quraisy. Para sahabat Nabi yang lain berhijrah secara sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin al-Khaththab, seorang pahlawan yang dijuluki Singa Padang Pasir.
            Umar bin al-Khaththab, setelah mengetahui para sahabat Nabi berhijrah, ia langsung menghunuskan pedangnya mengumumkan kepada orang-orang Quraisy bahwa ia akan berhijrah. Setelah melakukan shalat dua rakaat di Masjdi al-Haram, ia berangkat dan tidak ada seorang pun yang berani mengganggu dalam perjalanannya menuju Madinah. Ali bin Abi Thalib, setelah menyelesaikan amanatnya, ia kemudian berhijrah dengan berjalan kaki. Di siang hari menyengat, ia bersembunyi di balik gunung-gunung batu. Malam harinya melakukan perjalanan, sampai berjumpa dengan Nabi di Quba, kota kecil dekat Madinah. Di sanalah Nabi dan para sahabatnya membangun masjid yang pertama kali, dinamai dengan Masjid Quba.
            Di Kota Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah al-Rasul atau Kota Nabi, umat Islam dan seluruh penduduk kota telah bersiap-siap menerima kedatangan seorang muhajir besar, Nabi akhir zaman dan Rasul yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Kota itu bagaikan lautan yang bergolak, menumpahkan gelombangnya menerpa pantai, semua orang, besar dan kecil, pria dan wanita, kaya dan miskin menyatu dalam suasana bagaia, gembira bercampur haru, menyambut kedatangan seorang pemimpin yang mereka dambakan. Dengan alunan musik padang pasir yang khas, pemudia pemudi Madinah yang gagah dan cantik serta orang-orang tua dan anak-anak menyambut kedatangan Nabi dengan alunan syair:
Telah terbit bulan purnama...
Menerangi kami. Dari celah bukit wada’.
Patutlah kami bersyukur...karena dai penyeru ke jalan Allah itu telah berseru.
Wahai Rasul yang dibangkitkan kepada kami.
Engkau datang dengan pertintah yang dipatuhi. 

Makna Hijrah
Hijrah yang berarti pindah dari satu tempat ke tempat yang lain atau meninggalkan suatu perbuatan, atau memisahkan diri dari pergaulan tertentu, dalam sejarah Islam dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
  1. Hijrah Nabi dari Makkah ke Thaif, selama beberapa hari saja, kemudian kembali ke Makkah.
  2. Hijrah para sahabat Nabi yang pertama dari Makkah ke Habasyah (Ethiopia sekarang)
  3. Hijrah para sahabat Nabi yang kedua dari Makkah ke Habasyah.
  4. Hijrah Nabi dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah.
  5. Berhijrah dari perbuatan yang tidak baik, kepada yang baik. Hijrah dari perbuatan yang tercela kepada perbuatan yang terpuji.
Berhijrah dalam arti yang pertama sampai keempat tidak mungkin kita lakukan dan tidak perlu lagi. Yang harus kita lakukan adalah berhijrah dalam arti yang kelima, yaitu meninggalkan perbuatan yang tercela menuju perbuatan terpuji. Meninggalkan yang tersesat dan menuju petunjuk Ilahi. Mengenai ini, Nabi saw bersabda, “Tidak ada hijrah setelah terbukanya Kota Makkah tetapi yang ada adalah hijrah untuk berjuang dan berniat yang baik...” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
“Muslim yang sempurna adalah orang yang tidak mengganggu muslim lain dengan lisan dan tangannya dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.” (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa`i)
Setelah sampai di Madinah dan unta Nabi berhenti di lapangan luas tempat menjemur korma, milik dua bersaudara Sahal dan Suhail bin Amr, maka Nabi saw dan para sahabatnya sepakat untuk membangun masjid raya di tempat itu. Lapangan itu kemudian dibeli oleh pemiliknya untuk segera digarap pembangunan dari masjid yang dicita-citakan itu.  Sementara membangun masjid, Nabi tinggal di rumah Abu Ayyub, Khalid bin Zaid al-Anshari. Pembangunan masjid itu dikerjakan secara bergotong royong oleh para sahabat Nabi dengan penuh keikhlasan. Nabi saw ikut bekerja langsung beserta para sahabatnya dengan bersungguh-sungguh, sehingga menambah semangat bagi para sahabatnya yang terdiri dari kaum Muhajirin (orang-orang Makkah yang berhijrah ke Madinah) dan kaum Anshar (penduduk asli Kota Madinah).
Masjid Raya itu dibangun dengan bangunan yang sangat sederhana, disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan waktu itu. Masjid itu merupakan bangunan terbuka yang luas, tembok-temboknya terbuat dari batu bata kasar, sebagian atapnya terdiri dari daun-daun korma dan sebagian yang lainnya dibiarkan terbuka.
Setelah selesai membangun masjid, selanjutnya Nabi membangun rumah beliau di samping masjid tersebut. Rumah itupun sangat sederhana. Di samping masjid juga dibangun tempat-tempat sederhana untuk tinggal orang-orang miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk membangun rumah. Sebagian dari mereka adalah para Muhajir dari Makkah.

0 komentar:

Posting Komentar