Selasa, 08 Maret 2011

MEULABOH, SIRIH, DAN KOPI

SELAMAT DATANG di Meulaboh—Aceh Barat. Anda memasuki Bumi Teuku Umar. Di sinilah dulu Teuku Umar bersama isterinya yang banyak menginspirasi—terutama kaum perempuan—Tjut Nja Dhien berjuang mengusir penjajah Belanda. Sampai titik darah penghabisan.
Selamat datang juga di kota dengan panorama pantai yang menarik—kalau tak percaya singgahlah sekali-kali ke Ujung Karang.
Indah pantainya yang berair jernih dan berbatu karang, sangat-sangat menggoda kita agar menjeburkan diri, menyelam ke dalamnya.
Saya menginjakkan kaki pertama kali di Meulaboh di awal 2005. Waktu itu Meulaboh—dan pada umumnya wilayah Aceh—sedang mengalami bencana gempa dan tsunami yang terjadi di penghujung 2004. Saya datang sebagai—sok heroiknya—relawan kemanusiaan. Saya dapatkan kota yang berantakan: rumah rubuh, puing-puing, dan disana-sini masih menyengat bau—seperti bangkai—entah itu mayat manusia atau bangkai binatang.
Waktu berjalan. Tak terasa akhirnya sudah hampir 3 tahun—waktu itu—saya di Meulaboh. Kota ini sudah hampir-hampir pulih—dan kalau sekarang saya pikir sudah seperti sedia kala, bahkan melampui sebelum terjadi bencana. Pembangunan cepat terjadi: rumah berdiri, sekolah dibangun, kantor-kantor diperbaiki. Percepatan ini tak lain dari bantuan luar negeri juga karena ada badan khusus untuk itu: BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi) NAD dan Nias.
Kalau Anda sekarang bertanya, ”Apa yang [kuliner] menarik dari Meulaboh?”
”Sirih!”
”Yang lain?” susul Anda.
”Kopi!”
”Mengapa sirih dan kopi mengingatkan Anda dengan Meulaboh?” Begitu kejar Anda.
Cemana tidak. Pertama kali saya sampai ke kota ini saya langsung ditawari memakan sirih oleh seorang
interseksi.org)
lelaki paruh baya yang sedang mengantri mengambil barang bantuan dari posko kami. Sirih dalam bahasa aceh: ranub. Sebagai penghormatan—konon katanya kalau ditawari makan atau minum atau apalah namanaya itu oleh tuan rumah namanya penghormatan—saya terima sirih itu. Sambil mengucapkan terimakasih saya kunyah sirih itu.
Rasanya agak pedar. Hangat. Pahit juga. Mulut—dan ludah—pun menjadi merah. Seperti darah. Lama-lama telinga saya terasa panas. Dan kepala terasa agak pusing—sirih itu telah dicampur dengan pinang, gambir, dan kapur—rasa pinang itu yang sering membuat orang jadi mabuk.
”Pak kuping saya kok panas?”
”Berarti kau mabuk. Tak tahan kau berarti makan pinang!” kata bapak itu, sambil senyum-senyum. Dia lalu bergegas ke warung kopi dan memesan air hangat + gula pasir = air gula, lalu menyerahkannya kepada saya. Konon kalau mabuk pinang air gula adalah penangkalnya. Saya minum. Dan benar saja, rasa pusing di kepala dan panas di telinga mulai mereda.
Begitulah berlanjut. Tiap jumpa orang ditawar sirih. Saya terima. Pusing. Minum air gula. Tapi lama-kelamaan saya tidak mabuk pinang lagi. Dan mulai pula jadi ketagihan.
Sirih bagi masyarakat Meulaboh—bisa jadi Aceh secara umum—adalah kudapan tradisi. Mendapatkannya juga gampang, banyak warung di Meulaboh yang menjual sirih yang sudah diracik: tinggal dikunyah saja. Tiap orang dewasa di Meulaboh suka memakan sirih, baik laki maupun perempuan, baik tua maupun muda. Dikunyah dalam tiap kesempatan. Kumpul-kumpul keluarga, lagi rapat di kantor geuchik (kepala desa), ataupun sambil bersantai-santai sambil menyeruput kopi di keude kupi—(aceh: warung kopi).
bimo.sabak.org)
Cobalah menyeruput kopi terbalik, ini khas Meulaboh: Slruppppp…Akh…. (sumber:bimo.sabak.org)
Ya, tadi saya sudah singgung kalau kopi juga bagian kenangan saya dari Meulaboh. Sama dengan halnya sirih, kopi juga merupakan bagian kuliner wajib masyarakat Meulaboh—juga Aceh secara umum. Dimana-mana ada warung kopi, di kampung di kota, di sepanjang jalan kota—warung kopi berjejer. Besar-besar pula bangunannya—kadang cukup menampung ratusan pelanggan. Orang Aceh menyeruput kopi tiap saat, pagi, siang, sore, malam—kapan saja.
Semua orang ada di warung kopi, dari bupati sampai nelayan, dari anggota dewan sampai petani, mahasiswa, dan pelajar. Semuanya bisa jumpa di warung kopi. Hingga warung kopi jadi semacam ruang publik di Aceh—tempat bertukarnya informasi, atau menceritakan sesuatu hal masalah yang lagi hangat. Sambil ngobrol satu sama lain—tentu saja menyeruput kopi.
Kopi Aceh konon tiada duanya. Nikmat tiada tara. Membuatnya juga unik, dia direndam dulu, lalu disaring memakai saringan yang bentuknya menerupai gada udara(?) yang ada di bandara. Jadilah kopi pekat tanpa ampas tanpa tanding—yang Cuma ada di Keude Kupi Aceh.
Tapi kalau tidak di warung, kalau kita bertamu ke rumah penduduk juga disuguhi kopi. Tiap singgah segelas kopi. Ini bukti kalau penduduk Aceh itu ramah menerima tamu. Pernah satu kali kami—saya dan tim relawan lain—mendata korban di sebuah barak pengungsi yang akan terima bantuan, jadi begitulah, tiap masuk satu barak disuguhin kopi, pindah lagi kopi lagi, begitu seterusnya. Awalnya senang, tapi lama-lama gembung juga perut. Berontak minta kebelakang. Walah!
Satu lagi tentang kopi Meulaboh, ada namanya kopi terbalik. Kok terbalik? Karena disajikan terbalik—kalau ini kopi tubruk lengkap dengan bulir-bulir biji kopi kasar. Cara minumnya disedot dengan pipet. Unik kan? Dan yang ini juga nikmat kopi aslinya itu tiada tara. Saya menyeruputnya terakhir kali 3 tahun lalu—sebelum pulang ke Medan—tapi nikmatnya masih bisa saya bayangkan. Sampai sekarang. Slrupppp….Akhhhh….[*]

Sumber: http://www.kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar